Selasa, 30 Desember 2008

Tutup Tahun, Tutup Buku. Buka Mata, Buka Telinga

Ada yang harus pergi, ada yang datang memberi harapan.
Ada yang hilang, ada yang muncul.
Ada bekas tetes airmata, ada sebersit sunggingan senyum disudut bibir.
Ada kegagalan dibelakang kita, ada sukses yang menunggu didepan mata.
Ada malam, ada siang.
Ada yang tua, ada yang muda.
Ada luka yang menoreh hati, ada pula cinta yang menyejukkan jiwa.

Memang perubahan akan selalu memberi harapan...

Selamat Tahun Baru 2009!

Minggu, 28 Desember 2008

Pembawa Sial 2

Tulisan saya tentang Pembawa Sial terdahulu bisa jadi bermaksud ganda. Maksud pertama melucu, (moga-moga memang lucu) Dan maksud kedua tentu saja tentang makna sial. Untung - rugi, Pintar - bodoh dsb. Benarkah Anda sedang sial? Benarkah dia lebih beruntung dari Anda? Menurut pendapat saya jawabannya adalah TIDAK!

Mari kita tengok dari dua aspek. Aspek vertical, sering kita dengan sengaja melibatkan Tuhan dalam urusan duniawi kita. "Ini memang sudah rencana Tuhan." (kalau sedang dirundung masalah). "Tuhan memang maha pengasih lagi penyayang." (kalau kita lagi dapat untung besar) Kita manusia memang mahluk yang suka "cuci tangan" suka menggantungkan tanggung jawab. Saya mengatakan, Tuhan sesungguhnya tidak pernah aktif dalam keseharian kita. Akan saya gambarkan seperti ini:

"Peristiwa turunnya Bhagawadgitha kepada Arjuna sesungguhnya punya sisi lain yang sudah secara gamblang dipertontonkan kepada kita, yaitu gambaran tentang diri kita sendiri. Kereta ibarat badan kasar kita, kuda - kuda (saya lupa jumlahnya, tapi yang pasti walau dihitung "cc" tetap saja lebih besar dan liar dari pada Harley Davidson sekalipun) ibarat indriya pusat segala muara nafsu dan keinginan, tali - tali sais ibarat keberanian nyali kita, sais/kusir sang Kresna adalah intuisi/microcosmos dan Arjuna adalah segala akal-budi manusia. "Perintahlah Aku wahai Arjuna, sesungguhnya Aku adalah Kusirmu dan tali - tali sais yang mengikat kuda - kuda ini akan menggerakkan kereta kemanapun kau mau!" Tatkala Arjuna bimbang maka kuda - kuda indriya pun linglung. Mereka akan berlari kesana kemari sesuai arus kebingungan tuannya. Mereka bisa saja diam atau malah lebih gawat berlari liar dan masuk jurang. Lalu bagaimana peran sang Kresna? Tidakkah Ia memiliki hak veto? Sang Kresna - intuisi kita - adalah advisor, Ia bertindak sebagai pemberi wejangan, berbisik dengan lembut kepada Arjuna tentang kebenaran. Ia memegang tali - tali sais itu tetapi kekuasaan tetap pada Arjuna sang akal-budi. Di hiruk pikuk perang kehidupan ini memang agak sulit untuk benar - benar meyakini itu bisikan Kresna atau malah bisikan kusir tetangga sebelah. Itulah kenapa kadangkala kita goyah, lengah dan tersesat. Hanya Arjuna yang fokuslah yang dapat mendengar kusirnya sendiri. Hanya Arjuna yang tenang dan jernihlah yang dapat menguasai keretanya sendiri.

Seperti itulah kita dikehidupan ini. Kitalah yang memilih untuk berjalan kemana. Bila kita limbung dan bimbang berjalan maka tentu kesialan akan menghadang didepan. Dan bila kita jernih, fokus menguasai diri maka sudah barang tentu kita akan sampai pada tujuan yang sebenarnya yaitu kebahagiaan.

Lalu ada pula aspek yang kedua, aspek horizontal, hubungan antar manusia berikut lingkungannya. Tidak jarang pula kita menyalahkan orang lain atas kesalahan langkah - langkah kita. Kita hampir selalu ingin merasa benar diatas orang lain.

Ingatlah, bila kita panik dan bimbang kita cenderung ingin menguasai orang lain. Tapi bila kita bijaksana kita cenderung ingin menguasai diri sendiri!

Baca dulu, baru nulis

Awal september lalu saya mulai menyekolahkan anak pertama saya Gek Sri. Umurnya masih relatif muda, baru 3 tahun 5 bulan waktu itu. Antusiasnya? Luar biasa! Untuk ini mungkin saya boleh berbangga. Disaat orang tua yang lain berlomba - lomba dengan sedikit (atau malah sangat) memaksa agar putra - putrinya bersekolah "sesuai pilihan". Saya justru terbalik. Memang sejak awal-waktu itu umur putri saya baru 3 tahun kurang-dia merengek minta sekolah. Saya pikir hanya bersifat sementara saja "Nanti juga lupa" batin saya. Eh..enggak! 

Akhirnya mulailah saya riset lewat om Google. Cari tahu sana - sini guna mencari the best way dari "ketidakwajaran" putri saya ini. Dan, dasar memang sudah niat dan fokus. Terdamparlah saya pada metode Glen Doman. Metode ini menurut saya paling tepat buat Gek Sri dan Gus Purwa anak kedua saya yang baru 1,5 tahun. Glen Doman menitikberatkan pola pendidikannya lewat pemahaman konsep. Anak - anak usia dini diperkenalkan dengan kelompok - kelompok kata dalam media kartu. Dimulai dari kelompok 1 kata, 2 kata dst. Yup, anak -anak saya sedang digiring minatnya untuk membaca.

Hasilnya? Dalam 2 minggu berturut turut saya melakukan stimulasi lewat kartu - kartu itu dan pada minggu ke-3 anak - anak saya sudah gandrung dengan buku - buku. Walau tentu saja belum bisa membaca. Tapi minatnya terhadap buku, luar biasa. Mereka sudah tidak lagi perduli dengan Televisi. Mereka asik bermain diluar, main plastisin, membuka - buka buku atau malah saling flashing card dengan saya, ibunya atau dengan berdua.

Lalu tiba - tiba saja Gek Sri kumat lagi penyakitnya. Minta sekolah! Weleh - weleh, kirain sudah lupa. Ya sudah, kebetulan ipar saya pernah bilang kalau dekat - dekat rumah ada bimbingan belajar anak baru buka, jadi saya ikut nimbrung daftar buat Gek Sri. Disana pola pembelajarannya berbeda jauh. Gek Sri diajar menulis. Dalam hati saya berontak, tapi saya diamkan saja. "Kasihan kalo harus memadamkan semangatnya," saya pikir. "Toh suatu saat dia bisa menilai" tambah saya.

Dalam hemat saya, akan mudah untuk mengenal sebuah konsep berbentuk meja misalnya daripada mngenalkan kayu, paku, engsel dll. Dengan mengenalkan konsep berbentuk seperti meja misalnya sesungguhnya menggiring si anak untuk belajar menganalisa. Oh, ternyata meja itu terbuat dari kayu dan ada unsur paku, engsel dsb. Daripada mengenalkan kayu yang bisa saja akan berbentuk bebas, bisa jadi meja atau malah kapal laut.

Dan benar saja, 3 minggu dia bersekolah ternyata hanya dimanfaatkan oleh Gek Sri untuk bersosialisasi dengan sebayanya. Syukurlah! Dia kurang tertarik dengan pola disekolah itu. Secara alamiah dia memilih konsepnya sendiri.

Ini bisa menjadi pesan buat kita semua, mahasiswa, pengusaha, pegawai, pemimpin perusahaan atau juga para anggota legislatif/caleg. Untuk bisa menulis sebaiknya dimulai dari membaca. Budayakanlah membaca, karena dari membaca kita bisa menganalisa dan memahami apa yang akan kita tuang dalam tulisan. Lalu setelah itu, tekunlah menulis. Karena lewat tulisan jugalah semua akan terinspirasi sekecil apapun itu.

Tuh, para caleg! Kapan dong nulisnya?

Tulisan ini saya persembahkan buat para caleg yang sedang berjuang merebut hati rakyat Indonesia.

Pembawa Sial

Seorang laki-laki tua sedang terbaring sakit di salah satu Rumah Sakit di kotanya selama satu bulan, istri tercintanya dengan setia menunggui sang suami yang sedang lemah lunglai tertidur di ranjangnya.

Suatu saat, istrinya datang dan masuk kamar suaminya, tiba-tiba sang suami dengan lambaian tangan yang nampak lemah memanggil istrinya mendekat kepadanya.

Setelah sang istri duduk di dekatnya, suami berkata:

"Engkau tahu, kenapa? Engkau selalu bersamaku di sepanjang perjalanan hidupku yang menjengkelkan. Ketika aku dipecat, engkau selalu ada di sisiku dan menguatkan aku. Ketika bisnisku hancur, engkau pun selalu ada untuk aku. 

Ketika aku kecelakaan, engkau juga ada di sampingku. Ketika rumah kita satu-satunya harus dijual, engkau pun tetap ada bersamaku dan menghiburku. Dan sekarang, ketika aku jatuh sakit dan tak berdaya, engkau masih bersedia bersama denganku."

"Tahukah engaku, kenapa?"

"Apa sayangku ?", sang istri bertanya dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Aku yakin, bagiku engkau adalah pembawa nasib sial!"

Sabtu, 27 Desember 2008

Pasar Becek, Caleg dan Blog

Hari ini, seperti hari-hari minggu sebelumnya adalah hari "Ayah" maksudnya bukan terus saya bisa berleha-leha tidur seharian sambil dipijitin anak istri. Tapi hari dimana semua tugas "dalam negeri" dibebankan kepundak saya. Praktis mulai jam 6 pagi saya sudah bangun dan melangkah dengan nyanyian kecil menuju pasar. Pagi itu pasar lagi ramai, salah satu yang "agak" menarik adalah hadirnya sejumlah turis jepang dipandu guide mereka berkeliling pasar. Menarik, karena semuanya perempuan....cantik - cantik pula. Menarik, karena dipasar yang becek ini masih ada peminatnya, turis lagi. Yang lebih menarik adalah komentar mereka kepada guidenya. "Pasar tradisional anda bagus, tapi bau, becek dan tak tertata." kata guide itu kepada saya menirukan komentar tamunya. Dan paling menariknya adalah ternyata selama 15 tahun saat awal dia pernah kemari, nyaris tidak ada yang berubah.

Bergegas saya pulang, jam sudah menunjukan pukul 6:30. Saya mesti bantuin istri masak dan mandiin anak - anak. Terus 9:30 janjian dengan salah satu Caleg dari Partai Golkar didaerah Taman - Sanur. Wuih....padat merayap jadwal saya hari ini. Sesampai dirumah, Edar kawan saya sudah duduk menunggu dengan manis. Wara-wiri, hilir mudik kayak setrikaan kelar dah ceritanya tugas rumah dan selanjutnya mandi tidak lupa gosok gigi terus cabut ke kediaman Calon yang terhormat Legislatif kita. Agendanya? Gak muluk-muluk, jualan web itu aja.

Caleg bikin web? Gimana ceritanya dit? Gini, berawal dari mata...eh...bukan, berawal dari begitu maraknya Denpasar dengan baliho, poster, selebaran, pamflet dan sticker para caleg kita ini. Saya lihat mulai tidak ada estetikanya. Dan dari semua media itu pesannya cuma satu, "Mohon Doa Restu dan Dukungannya" Gimana mau dukung kenal aja enggak? Gimana mau kasih restu, lha wong visi misi aja gak pernah dipaparkan? Dan gimana mau percaya, tulisan mereka tentang apa saja baik di koran, buku dsb nyaris tidak pernah saya lihat? Serius, dari kemarin pagi saya sibuk searching di Google cari tulisan - tulisan para caleg kita ini. Ada sih beberapa. Tapi hampir semua tidak memberikan edukasi politik yang cukup untuk masyarakat. Lalu, bagaimana kompetensinya? Bukankah idealisme, visi dan misi seseorang bisa dilihat dari tulisan-tulisannya? Saya pikir sudah selayaknya para calon pemimpin negeri ini untuk biasa menulis. Karena menulis didasari dari memaknai, memaknai didapat dari membaca atau bahkan mempraktekkannya secara langsung. Jadi, kalo nggak bisa nulis? Hayo gimana coba?

Singkat kata, silat lidah dengan sang Caleg pun dimulai. Goooong! Ronde pertama masih saling berkelit dengan kembangan - kembangan silat masing - masing. Ciaaattt! Ronde dua untuk sementara saya harus "rela" membaca kekuatan lawan dengan memasrahkan diri akan pukulan dan tendangan lawan yang bertubi - tubi. Buuuukkk! Ronde ketiga sang lawan pun KO. Harga disepakati dan kitapun saling tukar-tukaran nomer HP serta menjadwalkan pertemuan berikutnya untuk presentasi web.

Haik! Mulailah berubah, berubahlah sekarang. Blog bukan lagi barang langka apalagi haram. Dia adalah salah satu manifestasi dari Demokrasi, jadi jangan pungkiri. Sayapun menyarankan kepada beliau (Caleg tadi) untuk menulis infrastruktur seperti pasar tradisional sebagai tulisan awal. Pasar tradisional jangan takut berubah. Juga jangan demo sama hypermarket, supermarket dll. Dari pada sibuk mikirin tentang boikot Hyper, supermarket dll mending sibuk mikirin perubahan untuk pasar tradisional. Tengoklah Pasar Tradisional Induk Tangerang, ditangan pemimpin perubahan sudah ditata sedemikian rupa sehingga sudah seperti Hypermarket tanpa menghilangkan sentuhan personalitas khas pasar tradisional. Kedepan kita tidak akan lihat pasar tradisional yang becek dan kumuh. Apa yang bisa mengawali perubahan itu? Dengan tulisan! Memberikan paradigma berpikir yang baru kepada masyarakat. Berani tidak populer sama sekali!

Yah, begitulah hari ini. Seperti juga hari - hari sebelumnya. Tetap memberi makna buat kita.

Sabtu, 13 Desember 2008

Yadnya "Love All Serve All"

"Hidup untuk bekerja, hakekat bekerja adalah melayani, melayani dengan tulus iklas adalah cinta dan Yadnya adalah adalah wujud cinta yang hakiki"

Membuka kembali lembar demi lembar perjalanan hidup adalah kegiatan rutin sehari - hari semenjak berita duka meninggalnya kakak saya. Bukan, saya bukan tipe melankolis sempurna. Karena saya sadar ini hanya siklus dan pasti akan selalu terulang dalam hidup saya. Saat ini saya sedang menjadi kepompong. Saya sedang membungkus diri saya dari dunia luar, kembali merenung di kedalaman hati. Hingga tiba saatnya nanti sayap - sayap cantik akan kembali menerbangkan saya. Itu pasti ...

Pagi ini saya membongkar kembali tumpukan - tumpukan buku, majalah, selebaran, tabloid, brosur, koran ... wait a minute ... tabloid, tabloid orti. Edisi 02 tanggal 25 Agustus 2002. Dengan tabloid inilah saya mengawali perjalanan bisnis saya. Karena tabloid inilah saya banyak belajar. Salah satunya adalah belajar menulis (selain tentu saja belajar menjadi lopernya saat selesai cetak). Saya baca satu per satu artikelnya. Dan mata saya terhenti di sebuah artikel bertajuk Analogi. Sesuai namanya, artikel ini menyampaikan pesan - pesan moral kepada siapa saja terutama pebisnis, sesuai dengan pangsa pasar tabloid saya saat itu. Kurang lebih berikut petikan kisah yang termuat dalam artikel:

Sang Atma yang pada kehidupannya didunia selalu berbuat kebajikan mendapatkan tiket istimewa. Tour berkeliling ke dua tempat. Dengan diantar oleh Sang Suratma, Sang Atma lalu memulai perjalannya. Sesuai permintaan, dia mengawalinya dengan berkunjung ke neraka terlebih dahulu. Begitu tersentuh hatinya melihat pemandangan yang ada didepan matanya. Sekelompok atma duduk bersila mengelilingi sebuah wajan berukuran jumbo. Masing - masing atma memegang sebuah sendok. Badan mereka kurus - kurus. Padahal makanan yang tersaji di wajan itu sangatlah banyak dan lezat - lezat. "Bagaimana mereka bisa menderita seperti itu wahai Sang Suratma?" tanya Sang Atma kepada tour guidenya. "Tunggulah sejenak anakku, kau akan segera tahu." jawabnya. Benar saja, tak lama kemudian Sang Atma melihat betapa pertanyaannya tadi telah terjawab. Mereka atma - atma tadi tidak dapat menikmati hidangan yang tersaji diwajan itu karena setiap kali mereka berusaha mendekatkan sendok yang telah terisi makanan kedalam mulutnya, saat itu juga sendok itu memanjang. Alih - alih mereka bisa menyuap makanan itu. Sendok - sendok itu terus saja memanjang tak terhingga.

Suasana yang sama ia dapati juga di surga. Atma - atma duduk bersila mengelilingi wajan, makanan super lezat dan sendok - sendok ditangan. Semua sama, hanya saja hanya satu yang berbeda. Saat sendok - sendok itu memanjang, mereka langsung menyuapkannya kepada atma disebelahnya. Demikian seterusnya, mereka bisa menikmati hidangan lezat itu dengan memberikannya kepada orang lain.

Melayani adalah aspek dalam kehidupan. Tak terkecuali bisnis sekalipun. Pelayanan tulus iklas penuh cinta adalah dasar yang kokoh dalam membangun citra. Menjadi pemenang dalam pertarungan bisnis adalah karena melayani dengan sepenuh hati. Tentu saja pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan berorientasi kepada konsumen bukan kepada pemegang saham, pimpinan usaha, kepala kantor dan sebagainya dan sebagainya. Ingat! Budaya ABS (Asal Bos Senang) terbukti telah menyengsarakan bangsa ini. Jadi jangan ulangi.

"Selalu tempatkan diri Anda sebagai pelayan dan rasakan apa yang mereka (konsumen) hadapi dengan hidup pas-pasan, sederhana dan rendah hati" Konoke Matsushita - Founder Matsushita Electric Industrial Co.

Hari ini saya masih dalam kepompong. Tapi saya sudah merasakan sayap - sayap indah telah tumbuh. Hingga nanti tiba saatnya saya akan terbang lebih tinggi lagi, terbang lebih jauh lagi. Itu pasti ...

Kamis, 11 Desember 2008

Introspeksi

Hari itu tanggal 30 November 2008 adalah hari terberat kedua dalam hidup. Hari itu, untuk kedua kalinya saya harus menyaksikan kepergian orang terdekat. Kakak perempuan yang ke-3 berpulang di usianya yang sangat muda 35 tahun. 14 tahun yang lalu ibu meninggal di usianya yang juga relatif muda. Juga karena penyakit yang nyaris serupa Hepatitis B!

Dimata saya mereka adalah tokoh perubahan. Ibu berhasil menerapkan pola - pola pikir dan tatanan keluarga yang nyaris sempurna. Dia berjuang merubah nasib kami anak - anaknya, merubah banyak orang termasuk ipar - iparnya. Dia tidak membedakan perlakuan kepada anak - anaknya dan kepada ipar - ipar berikut anak - anaknya hampir dalam segala aspek. Mendiang kakak juga adalah tokoh perubahan. Masih segar dalam ingatan bagaimana dia saat masih muda belum berkeluarga begitu malas, begitu keras, begitu apatis. Saat dia memperkenalkan saya dengan calon suaminya, saya juga masih ragu apakah memang dia akan bisa survive. Tapi kekhawatiran saya tentu tidak beralasan. Terbukti saat anak pertamanya lahir hingga anak keduanya lahir, dia nyaris sendiri mengurus anak - anaknya sekaligus bekerja sebagai bidan desa melayani warga desa tempat di mengabdi Desa Tiyingtali - Karangasem Bali. Tidak ada sepatah katapun keluhan yang keluar dari mulutnya saat itu. Bahkan dia benar - benar berusaha agar bayinya (anak ke-3) lahir dengan selamat sebelum akhirnya dia sendiri harus pasrah dalam pelukan hyang widhi. Saya sungguh - sungguh dibuat kagum.

Dua orang pemimpin perubahan pernah singgah didalam hidup saya. Tapi segala contoh yang telah secara gamblang dipertontonkan didepan mata tidak akan mudah pudar. Mereka selalu ada didalam hati yang paling dalam.

Selamat jalan pahlawanku. Kalian gugur disaat perjuangan untuk perubahan masih begitu panjang. Tetapi kalian telah memenangkan hati kami semua. Kami berjanji akan selalu memelihara semangatmu dalam keseharian kami. Kami berjanji akan selalu menjaga buah hati kalian sampai akhir hayat kami. Semoga suatu saat nanti kita bisa bertemu dan bercerita lebih banyak lagi disana.

Dan hujanpun turun menyejukkan hati kita semua...