Minggu, 28 Desember 2008

Baca dulu, baru nulis

Awal september lalu saya mulai menyekolahkan anak pertama saya Gek Sri. Umurnya masih relatif muda, baru 3 tahun 5 bulan waktu itu. Antusiasnya? Luar biasa! Untuk ini mungkin saya boleh berbangga. Disaat orang tua yang lain berlomba - lomba dengan sedikit (atau malah sangat) memaksa agar putra - putrinya bersekolah "sesuai pilihan". Saya justru terbalik. Memang sejak awal-waktu itu umur putri saya baru 3 tahun kurang-dia merengek minta sekolah. Saya pikir hanya bersifat sementara saja "Nanti juga lupa" batin saya. Eh..enggak! 

Akhirnya mulailah saya riset lewat om Google. Cari tahu sana - sini guna mencari the best way dari "ketidakwajaran" putri saya ini. Dan, dasar memang sudah niat dan fokus. Terdamparlah saya pada metode Glen Doman. Metode ini menurut saya paling tepat buat Gek Sri dan Gus Purwa anak kedua saya yang baru 1,5 tahun. Glen Doman menitikberatkan pola pendidikannya lewat pemahaman konsep. Anak - anak usia dini diperkenalkan dengan kelompok - kelompok kata dalam media kartu. Dimulai dari kelompok 1 kata, 2 kata dst. Yup, anak -anak saya sedang digiring minatnya untuk membaca.

Hasilnya? Dalam 2 minggu berturut turut saya melakukan stimulasi lewat kartu - kartu itu dan pada minggu ke-3 anak - anak saya sudah gandrung dengan buku - buku. Walau tentu saja belum bisa membaca. Tapi minatnya terhadap buku, luar biasa. Mereka sudah tidak lagi perduli dengan Televisi. Mereka asik bermain diluar, main plastisin, membuka - buka buku atau malah saling flashing card dengan saya, ibunya atau dengan berdua.

Lalu tiba - tiba saja Gek Sri kumat lagi penyakitnya. Minta sekolah! Weleh - weleh, kirain sudah lupa. Ya sudah, kebetulan ipar saya pernah bilang kalau dekat - dekat rumah ada bimbingan belajar anak baru buka, jadi saya ikut nimbrung daftar buat Gek Sri. Disana pola pembelajarannya berbeda jauh. Gek Sri diajar menulis. Dalam hati saya berontak, tapi saya diamkan saja. "Kasihan kalo harus memadamkan semangatnya," saya pikir. "Toh suatu saat dia bisa menilai" tambah saya.

Dalam hemat saya, akan mudah untuk mengenal sebuah konsep berbentuk meja misalnya daripada mngenalkan kayu, paku, engsel dll. Dengan mengenalkan konsep berbentuk seperti meja misalnya sesungguhnya menggiring si anak untuk belajar menganalisa. Oh, ternyata meja itu terbuat dari kayu dan ada unsur paku, engsel dsb. Daripada mengenalkan kayu yang bisa saja akan berbentuk bebas, bisa jadi meja atau malah kapal laut.

Dan benar saja, 3 minggu dia bersekolah ternyata hanya dimanfaatkan oleh Gek Sri untuk bersosialisasi dengan sebayanya. Syukurlah! Dia kurang tertarik dengan pola disekolah itu. Secara alamiah dia memilih konsepnya sendiri.

Ini bisa menjadi pesan buat kita semua, mahasiswa, pengusaha, pegawai, pemimpin perusahaan atau juga para anggota legislatif/caleg. Untuk bisa menulis sebaiknya dimulai dari membaca. Budayakanlah membaca, karena dari membaca kita bisa menganalisa dan memahami apa yang akan kita tuang dalam tulisan. Lalu setelah itu, tekunlah menulis. Karena lewat tulisan jugalah semua akan terinspirasi sekecil apapun itu.

Tuh, para caleg! Kapan dong nulisnya?

Tulisan ini saya persembahkan buat para caleg yang sedang berjuang merebut hati rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar